Konsep ini berawal dari pemikiran seorang ‘urban visioner’ Amerika yaitu James Rouse
di tahun 1970an. Saat itu, kota-kota bandar di Amerika mengalami
proses pengkumuhan yang mengkhawatirkan. Kota Baltimore merupakan salah
satunya. Karena itu penerapan visi James Rouse yang didukung oleh
pemerintah setempat akhirnya mampu memulihkan kota dan memulihkan
Baltimore dari resesi ekonomi yang dihadapinya. Dari kota inilah konsep
pembangunan kota pantai/pesisir dilahirkan.
Waterfront Development adalah konsep pengembangan daerah tepian air baik itu tepi pantai, sungai ataupun danau. Pengertian “waterfront” dalam
Bahasa Indonesia secara harafiah adalah daerah tepi laut, bagian kota
yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan (Echols, 2003). Waterfront Development juga
dapat diartikan suatu proses dari hasil pembangunan yang memiliki
kontak visual dan fisik dengan air dan bagian dari upaya pengembangan
wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berada dekat dengan air
dimana bentuk pengembangan pembangunan wajah kota yang terjadi
berorientasi ke arah perairan. Menurut direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006) mengemukakan bahwa
Kota Pesisir atau waterfront city merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap ke laut, sungai, danau dan sejenisnya.
Pada awalnya waterfront
tumbuh di wilayah yang memiliki tepian (laut, sungai, danau) yang
potensial, antara lain: terdapat sumber air yang sangat dibutuhkan untuk
minum, terletak di sekitar muara sungai yang memudahkan hubungan
transportasi antara dunia luar dan kawasan pedalaman, memiliki kondisi
geografis yang terlindung dari hantaman gelombang dan serangan musuh.
Perkembangan selanjutnya mengarah ke wilayah daratan yang kemudian
berkembang lebih cepat dibandingkan perkembangan waterfront.
Kondisi fisik lingkungan waterfront city
secara topografi merupakan pertemuan antara darat dan air, daratan
yang rendah dan landai, serta sering terjadi erosi dan sedimentasi yang
bisa menyebabkan pendangkalan. Secara hidrologi merupakan daerah
pasang surut, mempunyai air tanah tinggi, terdapat tekanan air sungai
terhadap air tanah, serta merupakan daerah rawa sehingga run off air
rendah. Secara geologi kawasan tersebut sebagian besar mempunyai
struktur batuan lepas, tanah lembek, dan rawan terhadap gelombang air.
Secara tata guna lahan kawasan tersebut mempunyai hubungan yang intensif
antara air dan elemen perkotaan. Secara klimatologi kawasan tersebut
mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin dan suhu serta mempunyai
kelembaban tinggi. Pergeseran fungsi badan perairan laut sebagai akibat
kegiatan di sekitarnya menimbulkan beberapa permasalahan lingkungan,
seperti pencemaran. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya waterfront city
memiliki keunggulan lokasi yang dapat menjadi pusat pertumbuhan
ekonomi, penduduk mempunyai kegiatan sosio-ekonomi yang berorientasi ke
air dan darat, terdapat peninggalan sejarah dan budaya, terdapat
masyarakat yang secara tradisi terbiasa hidup (bahkan tidak dapat
dipisahkan) di atas air. Terdapat pula budaya/tradisi pemanfaatan
perairan sebagai transportasi utama, merupakan kawasan terbuka (akses
langsung) sehingga rawan terhadap keamanan, penyelundupan, peyusupan
(masalah pertahanan keamanan) dan sebagainya.
Prinsip perancangan waterfront city adalah
dasar-dasar penataan kota atau kawasan yang memasukan berbagai aspek
pertimbangan dan komponen penataan untuk mencapai suatu perancangan kota
atau kawasan yang baik. Kawasan tepi air merupakan lahan atau area
yang terletak berbatasan dengan air seperti kota yang menghadap ke
laut, sungai, danau atau sejenisnya. Bila dihubungkan dengan
pembangunan kota, kawasan tepi air adalah area yang dibatasi oleh air
dari komunitasnya yang dalam pengembangannya mampu memasukkan nilai
manusia, yaitu kebutuhan akan ruang publik dan nilai alami. Berikut
alur pikir perumusan prinsip perancangan kawasan tepi air (waterfront
city).
Bagan Alur Pikir Perumusan Prinsip Perancangan Kawasan Tepi Air
Aspek
yang dipertimbangkan adalah kondisi yang ingin dicapai dalam penataan
kawasan. Komponen penataan merupakan unsur yang diatur dalam prinsip
perancangan sesuai dengan aspek yang dipetimbangkan. Variabel penataan
adalah elemen penataan kawasan yang merupakan bagian dari tiap komponen
dan variabel penataan kawasan dihasilkan dari kajian (normatif)
kebijakan atau aturan dalam penataan kawasan tepi air baik didalam
maupun luar negeri dan hasil pengamatan di kawasan studi (Sastrawati,
2003).
Jenis – Jenis Waterfront
Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
- Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.
- Pembangunan Kembali (redevelopment) adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada.
- Pengembangan (development) adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai.
Berdasarkan fungsinya, waterfront dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu :
1. mixed-used waterfront, adalah waterfront yang merupakan kombinasi dari perumahan, perkantoran, restoran, pasar, rumah sakit, dan/atau tempat-tempat kebudayaan.
2. recreational waterfront, adalah semua kawasan waterfront yang
menyediakan sarana-sarana dan prasarana untuk kegiatan rekreasi,
seperti taman, arena bermain, tempat pemancingan, dan fasilitas untuk
kapal pesiar.
3. residential waterfront, adalah perumahan, apartemen, dan resort yang dibangun di pinggir perairan.
4. working waterfront, adalah
tempat-tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar,
industri berat, dan fungsi-fungsi pelabuhan. (Breen, 1996).
Kriteria - Kriteria Waterfront
Dalam menentukan suatu lokasi tersebut waterfront atau tidak maka ada beberapa kriteria yang digunakan untuk menilai lokasi suatu tempat apakah masuk dalam waterfront atau tidak.
Berikut kriteria yang ditetapkan :
- Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya).
- Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, atau pariwisata.
- Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan.
- Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.
- Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal
Aspek- Aspek yang Menjadi Dasar Perancangan Konsep Waterfront Development
Pada
perancangan kawasan tepian air, ada dua aspek penting yang mendasari
keputusan - keputusan rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut
adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree,
1989).
a. Faktor Geografis
Merupakan
faktor yang menyangkut geografis kawasan dan akan menentukan jenis
serta pola penggunaannya. Termasuk di dalam hal ini adalah Kondisi
perairan, yaitu dari segi jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan
konfigurasi, pasang-surut, serta kualaitas airnya.
- Kondisi lahan, yaitu ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya.
- Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.
b. Konteks perkotaan (Urban Context)
merupakan
faktor-faktor yang nantinya akan memberikan ciri khas tersendiri bagi
kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam aspek ini adalah:
- Pemakai, yaitu mereka yang tinggal, bekerja atau berwisata di kawasan waterfront, atau sekedar merasa "memiliki" kawasan tersebut sebagai sarana publik.
- Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.
- Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan sirkulasi didalamnya.
- Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu kawasan waterfront dengan lainnya.
Penerapan Waterfront Development di Indonesia
Penerapan waterfront development di Indonesia telah dimulai pada zaman penjajahan Kolonial Belanda di tahun 1620. Pembangunan konsep waterfront
di terapkan oleh para penjajah yang menduduki Jakarta atau Batavia saat
itu untuk membangun suatu kota tiruan Belanda yang dijadikan sebagai
tempat bertemunya dalam lalu lintas perdagangan. Penataan Sungai
Ciliwung saat itu semata-mata hanya untuk kelancaran lalu lintas semata.
Pada
zaman Indonesia merdeka, pembangunan yang berbasis kepada paradigma
kelautan sudah didengung-dengunkan sejak terbentuknya Departemen
Kelautan dan Perikanan di Tahun 1999 yang lalu. Pemicunya adalah
kesadaran atas besarnya potensi kelautan dan perikanan perairan
Indonesia yang secara laten terus menerus mengalami penjarahan oleh
negara tetangga. Selain itu mulai berkurangnya pemasukan negara dari
sektor hasil hutan dan tambang juga mejadi pemicu.
Fakta
menunjukkan, bahwa sekitar 60% dari populasi dunia berdiam di kawasan
selebar 60 km dari pantai dan diperkirakan akan meningkat menjadi 75%
pada tahun 2025, dan 85% pada 2050. Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
sendiri menyebutkan bahwa sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi
air (Waterfront) [Adisasmita, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau – pulau Kecil, 2006. Pedoman Kota Pesisir]
Banyaknya
jumlah kota yang berada di daerah pesisir dapat menimbulkan beberapa
permasalahan pada kota itu, jika tidak di tata dengan baik. Permasalahan
yang dapat ditimbulkan yaitu pencemaran, kesemerawutan lingkungan, dan
sampah. Kekumuhan lingkungan tersebut juga dapat menimbulkan masalah
kriminalitas didaerah tersebut. Oleh karena itu, pembangunan kota
pesisir di Indonesia harus memecahkan permasalahan tersebut. Penerapan Waterfront City
di berbagai kota di Indonesia diharapkan mampu untuk memecahkan
permasalahan yang timbul akibat tidak tertatanya kota-kota pesisir yang
ada.
artikel yang bagus.. mantab gan.. terimakasih juga..
BalasHapus